Mencintai istri menjadi keharusan. Namun jangan melebihi cinta kepada Allah. Bagaimana caranya?


DALAM Islam, menikah sama dengan menyempurnakan separuh agama. Berbagai kenikmatan di surga sepertinya belum cukup bagi Adam ‘alaihis-salaam. Itulah sebabnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan ibu kita, Hawa, untuk mendampinginya.

Jika ditelusuri, sesungguhnya karya-karya besar orang sukses lahir ketika seluruh energi di dalam dirinya bersinergi dengan sumber energi di luar dirinya, yakni dukungan dari orang-orang terdekat. Bagi seorang suami, istri adalah salah satu sumber energi itu.

Istri, di samping sebagai sandaran emosional, juga sebagai penyangga spiritual. Dialah yang siap berbagi tanpa pura-pura dan pamrih. Karunia istri, menurut Al-Qur`an, sama berharganya dengan kejadian dunia dan seisinya (Ar-Ruum: 16-30). Subhanallah!

Seorang suami bisa memperoleh ketenangan dan gairah hidup dari seorang istri. Juga kenyamanan, keberanian, keamanan, dan kekuatan. Laki-laki menumpahkan seluruh energinya di luar rumah dan mengumpulkannya kembali di dalam rumah. Rumah tidak sekadar tempat berteduh secara fisik, tetapi tempat berlabuh lahir dan batin. Sumber menu ruhani dan jasmani.

Potensi besar yang dikaruniakan Allah kepada perempuan adalah kelembutan, kesetiaan, cinta, kasih sayang, dan ketenangan jiwa. Kekuatan itu seringkali dilukiskan bagaikan ring dermaga tempat suami menambat kapal, atau pohon rindang tempat sang musafir merebahkan diri dan berteduh.

Di dalamnya merupakan padang jiwa yang luas dan nyaman. Tempat menumpahkan sisi kepolosan dan kekanakan suami untuk bermain dengan lugu; saat suami melepaskan kelemahan-kelemahan nya dengan aman; saat suami merasa bukan siapa-siapa; saat suami menjadi bocah besar yang berjenggot dan berkumis. Di keadalaman telaga itulah suami menyedot energi spiritual dan ketajaman emosional.

Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tetapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu.”

“Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos ketika berbaring dalam pangkuan ibuku dan istriku,” kata Sayyid Quthub.

Sebaik-baik wanita (istri), kata Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah apabila kamu melihatnya menyenangkanmu. Istri yang seperti inilah yang bisa menjadi sumber kebahagiaan, keamanan, dan penjaga kehormatan diri. Bila sumber itu hilang atau kering, tragedi cintalah yang akan terjadi.

Jangan Sampai Membelenggu

Hanya saja, kecintaan kepada istri harus rasional dan proporsional. Tak sekadar menonjolkan rasa, tetapi juga rasio. Cinta terhadap istri hendaknya diletakkan demi kepentingan agama.

Cintailah istrimu di bawah cinta kepada Allah! Jangan sampai kecintaan kepada keluarga menjadi ketergantungan yang membelenggu dan melumpuhkan. Saling mengasihi yang tidak dilandasi agama, suatu ketika bakal menjadi batu sandungan dakwah.

الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِي

“Para kekasih pada hari itu (kiamat) sebagian mereka terhadap sebagian yang lain menjadi musuh kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Az-Zuhruf: 67)

Ketergantungan kepada selain Allah adalah indikasi kelemahan jiwa. Umar bin Khattab pernah menyuruh putranya, Abdullah bin Umar, satu dari tujuh ulama besar sahabat Rasulullah, untuk menceraikan istrinya. Pasalnya, ia terlalu berlebihan dalam mencintai istrinya itu.

Terkadang, ia terlambat shalat berjamaah karena asyik menyisir rambut istrinya. Sekalipun ia mempertahankan istrinya yang tercinta, tetapi Umar menganggapnya sebagai kelemahan jiwa.

Ketika seorang sahabat mengusulkan kepada Umar untuk mencalonkan putranya sebagai khalifah ketiga saat menjelang wafatnya, beliau menolak. “Aku tidak akan pernah menyerahkan amanah ini kepada seorang laki-laki yang lemah, yang tak berdaya menceraikan istrinya,” kata Umar.

Ibnu Abbas dan Mujahid mengatakan: “Pada hari kiamat setiap kekasih hati menjadi musuh kecuali orang-orang yang bertaqwa.”

Sedang Al-Hafidz Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Jika antara dua orang saling mencintai karena Allah, yang seorang di Timur dan yang seorang lagi di Barat, maka pada hari Kiamat Allah pasti akan mempersatukan keduanya sambil berfirman: “Inilah orang yg kau cintai karena-Ku…”

Agamalah yang bisa memberikan keterampilan kepada pemeluknya untuk mengelola fluktuasi (naik turun) kehidupan dengan semangat yang sama. Sedih dan gembira, suka dan duka, gagal dan sukses, adalah peta realitas kehidupan dunia.

Dinamika kehidupan dipersepsikan dan disikapi sebagai romantika, sehingga istri bisa menjadi teman abadi sepanjang hayat di dunia dan di akhirat. Tidak sebatas pandai dalam menjalin kasih secara biologis, tetapi terampil dalam memetakan masalah dan memutuskan risiko yang terjadi pascanikah.

Membangun Sandaran Spiritual

Syaikh Hasan an-Naisaburi, seorang ulama yang alim, pada usia 40 tahun belum juga menikah. Di tengah kesibukannya, datanglah seorang gadis shalihah yang cacat (bermata juling) dan miskin memberanikan diri untuk menghibahkan dirinya kepada beliau.

“Wahai Ustadz, sudikah engkau berkeluarga dengan orang yang fari ini?” kata gadis itu.

Sang ulama tergagap, seakan-akan telinganya disambar petir, diingatkan akan sunnah Rasul yang selama ini seolah-olah terhapus dalam memorinya. Segera, setelah itu ia bisa menguasai diri.

Beliau menjawab, “Apakah sudah engkau pertimbangkan secara matang hidup denganku yang sudah tua ini? Ingat masa depanmu masih panjang! Jangan engkau korbankan harapanmu denganku!”

Singkat cerita, lamaran gadis tersebut diterima. Sang gadis, terutama bapaknya, segera melakukan sujud syukur, “Alangkah senangnya kehidupanmu kelak, Nak. Bapak doakan semoga pernikahanmu ini yang pertama dan terakhir. Anakku, ditinjau dari berbagai segi, sesungguhnya kamu tidak sekufu dengan ustadz. Baik dari sisi usia, keilmuan, harta, dan keturunan. Tetapi alhamdulillah, permohonanmu diterima dengan tangan terbuka. Doa apakah yang selalu kamu panjatkan kepada Allah selama masa penantianmu yang panjang, Nak?”

Selama lima tahun mujahid yang harum namanya itu berdampingan dengan wanita yang cacat fisik, tetapi sukses mengarungi samudera kehidupan berkeluarga tanpa hambatan yang berarti. Ia berhasil merangkai keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, wa muthmainah.

Sekalipun banyak ketidakcocokan di tengah jalan, tetapi dengan mudah dicarikan jalan keluar. Tentu, pasangan ini tidak terfokus perhatiannya pada hal yang bersifat lahiriah. Sang ulama menyadari, jika tidak menyukai satu sifat istri, palingkan penglihatanmu pada sisi yang lain.

Kalau kita baca tarajum (riwayat kehidupan) sang ulama, bisa dipahami bahwa kesamaan cinta kepada Allah-lah yang bisa mempertahankan dan merawat keharmonisan rumah tangga mereka sampai 15 tahun.

Suatu hari, sang istri yang cacat itu lebih dahulu kembali kepada Allah. Sang ulama menuliskan bait-bait puisinya yang melukiskan kepedihan hatinya, karena terlalu cepatnya berpisah dengan belahan jiwanya. “… Sungguh istriku, hati kita yang telah terbuhul… dengan cinta kepada Allah.”

Ia selalu terkenang dengan istrinya yang cacat fisik tetapi hatinya laksana intan mutiara. Lentera di dada.

Rasulullah berpesan, “Janganlah laki-laki mukmin membenci istrinya yang mukminah. Bila ada perangai istri yang tidak disukai, dia pasti ridha (senang) dengan perangai istri yang lain.” (Riwayat Muslim).*/Sahid

Sumber : hidayatullah.com